Makalah Filsafat Al-Ghazali ( Kaidah Penerapan Ilmu dalam Praksis)



MAKALAH FILSAFAT ILMU AL-GHAZALI
KAIDAH-KAIDAH PENERAPAN ILMU DALAM PRAKSIS









Di Susun Oleh     :Tafrikhatul unsa
NIM            :1623211073
Fakultas /prodi :Tarbiyah / PAI






INSTITUT AGAMA ISLAM IMAM GHOZALI CILACAP
TAHUN AJARAN 2016/201

KATA PENGANTAR


Puji syukur alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelasaikan tugas makalah yang berjudul “KAIDAH-KAIDAH PENERAPAN ILMU DALAM PRAKSIS” .Tidak lupa sholawat serta salam saya sanjungkan kepada beliau Nabiyullah Muhammad SAW . Ucapan terimakasih juga saya  sampaikan kepada Dosen Filsafat ilmu Al-Ghazali yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengerjakan tugas ini, sehingga saya lebih mengerti dan memahami tantang kaidah-kaidah penerapan ilmu, langkah-langkah yang saya susun disini dalam pembuatan makalah bukanlah teori yang diambil dari sumber yang tidak jelas juga dari hasil copy paste, saya mengambil dari berbagai sumber yang saya temukan kemudian saya  bandingkan antara sumber yang satu dengan sumber lainnya. Saya sadar makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat saya  harapkan agar kedepan bisa lebih baik lagi. Meski begitu saya berharap makalah saya ini bisa menambah pengetahuan dan dapat bermanfaat bagi kita semua.





       Amiin…










DAFTAR ISI










BAB I

 PENDAHULUAN


A.    Latar belakang


Didalam filsafat ilmu terdapat kaidah-kaidah penerpan ilmu dalam praksis yang merupakan bagian dari aksiologi yang secara spesifik mengkaji tentang praktek-praktek kehidupan manusia atau perbuatan-perbuatan manusia. Untuk itu kaidah-kaidah-kaidah penerapan ilmu sangat penting untuk dipelajari sebagai modal kita dalam menuntut ilmu. Denhan demikian, seseorang akan mampu mengenali kaidah-kaidah penerapan ilmu yang benar dan mampu memanfaatkan dan mengamalkannya dengan baik.
Didalam mempelajari suatu ilmu termasuk kaidah-aidah penerapan ilmu dalam praksis ini, nantinya akan ada masalah yang akan dibahas dalam makalah ini. Dengan demikian, pembahasan mengenai kaidah penerapan ilmu dalam praksis aka membantu kita untuk lebih memahami kaidah-kaidah yang benar dalam penerapan ilmu itu sendiri.

B.     Rumusan masalah


1.      Jelaskan tentang keutamaan ilmu, belajar dan mengajar!
2.      Sebutkan dan jelaskan kaidah-kaidah penerapan ilmu dalam praksis  menurut imam Al-Ghazali?

C.    Tujuan

1.      Untuk mengetahui tentamg keutamaan ilmu, belajar serta mengajar
2.      Untuk mengetahui apa saja  kaidah-kaidah penerapan ilmu dalam praksis

BAB II

 PEMBAHASAN



A.    KEUTAMAAN ILMU,  BELAJAR DAN MENGAJAR


Allah SWT berfirman dalam Q.S.Al-Mujadilah ayat 11, yang artinya: “Niscaya Allah SWT akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
Rasulullah SAW juga bersabda: “ Orang berilmu adalah kepercayaan (wakil) Allah SWT di muka bumi.”[1]
Sedangkan keistimewaan menuntut ilmu ditegaskan oleh sabda Nabi Muhammad SAW, “ Sesungguhnya para malaikat akan membentangkan sayapnya (merendahkan sayapnya untuk memberi perlindungan ) bagi penuntut ilmu karena ridha dengan apa yang dilakukannya.”[2]
Ilmu dapat menghidupkan hati yang buta, menjadi peenerang jiwa dari kegelapan, penguat jasmani dari kelemahan sehingga dapat mengangkat derajat hamba ke tingkat golongan orang-orang shaleh. Berfikir dengan ilmu sama nilainya dengan pahala puasa dan mengkajinya sebanding dengan shalat malam. Dengan ilmu, manusia taat kepada Allah SWT, menyembah-Nya, meng-Esakan-Nya, bersikap rendah hati, menyambung dan mempererat tali silaturrahim. Ilmu ibarat seorang pemimpin dan mengamalkannya bagaikan pengikutnya. Dengan ilmu manusia meraih kebahagiaan, sebaliknya yang tidak berilmu hanya akan mendapatkan kesengsaraan.[3]
Dunia adalah lahan amal untuk bekal di Akherat kelak. Seseorang yang mengamalkan ilmunya akan menuai hasil untuk dirinya sendiri yang berupa kebahagiaan yang abadi, yaitu yang mendidik dirinya dengan akhlak dan etika yang sesuai dengan tuntutan ilmu. Demikian pula dengan orang lain, ia dapat meraih kebahagiaan abadi dengan mengambil faedah dari orang yang berilmu lewat proses belajar mengajar. Dengan ilmunya, seorang pengajar memberikan bimbingan akhla kepada manusia dan mengajak mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, sebagaimana yang tersirat dalam salah satu firman-Nya, “ Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”
Orang berilmu menyuruh orang-orang Khawas ( memiliki tingkat ilmu Khusus) dengan hikmah, mengajar orang-orang awwam dengan nasehat dan menghadapi para pembangkang dengan jidal (berdebat). Dengan itu, ia menyelamatkan dirinya dan orang lain. Gambaran seperi inilah yang dipandang sebagai sosok hamba yang sempurna. [4]

B.     KAIDAH-KAIDAH  PENERAPAN  ILMU  DALAM  PRAKSIS


Dalam filsafat ilmu Al-Ghazali terdapat tujuh prinsip penerapan ilmu, yaitu:
1.      Prinsip Objektifitas-Kontekstualitas.
Al-Ghazali membedakan secara ketat antara ilmu-ilmu faktual-teoritis dan ilmu-ilmu praksis, yaitu ilmu faktual objektif sepenuhnya dan sebab itu, dalam dimensi ontologi dan epistimologinya bebas nilai atau netral, sehingga ia universal. Akan tetapi, tidak berarti bahwa semua fakta dapat diungkapkan dan semua ilmu faktual dapat diaplikasikan begitu saja, melainkan dalam dimensi aksiologinya harus juga mempertimbangkan konteks dan implikasi-implikasinya sesuai tuntutan norma-norma etis-yuridis. Cacat seseorang misalnya, adalah fakta, tetapi secara etis-yuridis tak dapat diungkapkan dimuka umum, kecuali karena terpaksa seperti dalam kasus-kasus pidana,berbohong. Mengatakan bahwa Tuhan berada dilangit kepada orang awam yang sekiranya dikatakan sebagaimana adanya ia akan menjadi kafir, adalah keharusan walaupum tidak sesuai dengan fakta. Dengan demikian, dalam dimensi aksoiologinya, objektifitas ilmu dibatasi oleh nilai-nilai etis-yuridis yang mengacu pada kesejahteraan, kebahagiaan yang merupakan tujuan akhir ilmu sendiri. Oleh karena itu Al-Ghazali mengajukan teori stratifikasi pengartikulasian kebenaran metafisis dan teori relatifisme-kontektualisme nilai, teori kedaruratan , termasuk dalam konsep politik, dan teori strategi pengembangan ilmu. [5]


2.      Prinsip ilmu untuk amal dan kebahagiaan.
Bagi Al-Ghazali, ilmu bukan untuk kekuasaan, melainkan untuk amal dan kebahagiaan. Ilmu-ilmu faktual dasar, baik a-priori maupun inferensial merupakan landasan ilmu amali, dan amal merupakan metode praksis untuk mencapai kebahagiaan abadi. Fokus Al-Ghazali memang ilmu-ilmu keagamaan, baik teoritis maupun praksis. Akan tetapi prinsip ini dapat diterapkan dalam ilmu-ilmu lain dalam dimensi aksiologinya. [6]
Dalam konteks ilmu keagamaan, Al-Ghazali mengencam keras para ulama, ilmuan yang sikap dan perilakunya tidak sesuai dengan ilmunya, sehingga beliau membagi ulama dalam dua kategori, yaitu:
a.       Ulama Dunia
Yaitu ulama yang ilmunya ditujukan untuk menikmati dunia dan meraih prestise serta kedudukan. Rasulullah SAW bersabda, “manusia yamg paling berat adzabnya pada hari kiamat adalah orang yang berilmu tapi tidak mengamalkannya karena Allah SWT.”
Dalam hadits lain beliau bersabda, “Barangsiapa yang bertambah ilmunya, namun tidak bertambah benar jalannya, maka ia semakin jauh dari Allah SWT.”
Khalil bin Ahmad berkata : manusia terbagi menjadi empat macam, yaitu:
·         Orang yang tahu, dan ia tahu bahwa ia mengetahui. Itulah orang yang berilmu, maka ikutilah ia.
·         Orang yang tahu, tetapi ia tidak tahu bahwa ia mengetahui. Itulah orang yang tertidur, maka bangunkanlah ia.
·         Orang yang tidak tahu, tetapi ia tahu bahwa ia tidak mengetahui. Itulah orang yang memerlukan bimbingan, maka ajarilah ia.
·         Orang yang tidak tahu, namu ia tidak tahu bahwa ia tidak mengetahui. Itulah orang yang bodoh. Waspadalah terhadapnya. [7]




b.      Ulama Akherat
Yaitu mereka yang tidak terpengaruh godaan dunia dengan mengorbankan agama, dan tidak menjual akherat demi dunia karena mereka mengetahui kemuliaan akherat dan kehinaaan dunia. Barangsiapa yang tidak mengetahui perbedaan antara manfaat dan kemadharatan dunia dengan akherat, maka ia bukanlah ulama. Dan barangsiapa yang mengingkari hal ini, maka sungguh ia telah mengingkari apa yang tertera dalam Al-Qur’an, sunnah Rasul dan kitab-kitab yang diturunkan Allah SWT serta perkataan para nabi.
Sedangkan barangsiapa yang mengetahui hal ini, namun tidak mengamalkannya, maka ia telah menjadi tawanan setan. Ia telah dijerumuskan oleh hawa nafsunya dan dikalahkan oleh kesengsaraannya sendiri. Barang siapa mengikuti orang tersebut, maka ia akan binasa.
Menurut Al-Ghazali buruknya perilaku ulama merupakan salah satu diantara empat sebab utama melemahnya iman umat. Orientasi ilmu amali dan ilmu ilmi terlihat dalam sistem atau etika pendidikannya, baik pada komponen guru dan murid maupun pada materi, proses dan tujuannya.[8]
Ilmu dan amal merupakan dua jalan menuju kebahagiaan, untuk mengetahuinya ada dua cara, yaitu: Jenis-jenis kebaikan yang sesuai dengan jalan yang telah lalu, yaitu memperhatikan kepada kesepakatan tiga golongan, mereka telah sepakat bahwa kebahagiaan dan keselamatan itu tidak dapat dicapai kecuali dengan ilmu amal seluruhnya, walaupun mereka sepakat bahwa ilmu itu lebih mulia dari pada amal. Amal menjadi penyempurna ilmu, dan dengan ilmu dapat sampai pada sasaran yang semestinya.[9]
Pendapat golongan pertama, yaitu mereka yang berpedoman dengan pemahaman mayoritas ulama, yaitu dalil-dalil agama yang tidak ada kerugian lagi, bahwa keselamatan itu selalu dihubungkan dengan adanya ilmu dan amal.
Ulama ahli tasawuf dan kaum filsafat yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, walaupun mereka berbeda dalam tata cara pemahaman, namun secara garis besar mereka sepakat bahwa kebahagiaan adalah ilmu dan ibadah., sedangkan pemikiran mereka berbeda dalam perincian ilmu dan amal.
Tidak menyetujui kesepakatan itu merupakan suatu kebodohan. Seumpama ada seorang yang terserang suatu penyakit, sedangkan tulisan-tulisan dan ucapan-ucapan para dokter yang berbeda-beda keahliannya telah sepakat bahwa yang berguna untuk menjadi obatnya adalah udara yang sejuk, maka tindakan orang yang menolak pengobatan tersebut, adalah menunjukan kebodohan akalnya. Namun akal yang sempurna sehat tentulah menghendaki segera pada pengobatan tadi. [10]
Memang terkadang setelah itu ia mempunyai suatu cara untuk menyatakan hal itu tanpa mengikuti kebanyakan orang, tetapi ia berusaha menyatakan penyakitnya dan segi-segi penyesuaian udara yang sejuk untuk menghilangkan penyakitnya. Dengan demikian berarti ia telah bangkit menjadi orang yang waspada dalam berfikir, maka membebaskan diri dan naik dari kerendahan taqlid atau mengikuti orang lain menuju puncak kewaspadaan.
Pendapat golongan kedua , yaitu bahwasannya mungkin juga manusia itu dapat mencapai hal-hal tersebut dengan kewaspadaan mata hati dan dengan usaha meneliti secara cermat. Hal itu bisa dicapai jika seseorang mau mengerti tentang hakekat mati. Mati adalah keluarnya alat yang tertentu menjadi tidak berfungsi untuk digunakan, dan bukanlah sirnanya alat yang digunakan. Lalu hendaknya seseorang mengetahui kebahagiaan, kelezatan dan kenikmatan dari segala sesuatu adalah dalam tercapainya segala sesuatu tadi hingga sempurna sampai kesempurnaan secara khusus.
Hendaknya seseorang mengetahui kesempurnaan yang khusus bagi manusia, yaitu menemukan hakekat hal-hal yang diangan-angan sesuai dengan kenyataan, bukan hanya perkiraan dan perasaan yang mana binatang lain pun dapat menemukannya. Hendaknya seseorang mengetahui bahwa nafsu itu sangat berkeinginan kepada kesempurnaaan, dan sesuai kejadian semula ia memang bersedia untuk mencapainya. Hanya saja yang dapat menyimpangkan nafsu adalah kesibukan menuruti keinginan badan dan segala hal yang mendatanginya, bila telah dapat menguasainya. [11]

Semua itu dapat dicapai jika telah dapat mensucikkan jiwa dari hal-hal yang mengeruhinya. Pada sampai mensucikan jiwa itulah “sa’adah” atau kebahagiaan dapat dicapai. Dan yang menolong unyuk mencapainya adalah “amal sholih”. Mereka (Tokoh-tokoh tasawuf) adalah golongan yang telah mengerti persesuaian antara ilmu dan amal untuk mencapai kebahagiaan.
Itulah jalan atau dua cara untuk mencapai derajat yakin, apa yang mereka katakan adalah benar, akan tetapi tidaklah dapat diketahui kecuali dengan  Mujahadah” (Bersungguh-sungguh usaha) dan “Riyadah” (Latihan Jiwa).
Maka hendaknya bersungguh-sungguh dan berusaha untuk mencari kebahagiaan, karena kadang-kadang akan tersingkaplah hakekat-hakekat keadaan dengan tidak berhasil atau tetap berhasil. [12]

3.      Prinsip prioritas
Al-Ghazali sangat menganjurkan agar penerapan ilmu dilakukan dengan memperhatikan prinsip prioritas, seperti mendahulukan kewajiban individual dari kewajiban komunal, Menempuh yang lebih ringan diantara dua hal yang merugikan, termasuk mengutamakan mayoritas ketimbang minoritas dikala kepentingan keduanya kontradiktif dan tidak akan dikompromikan sesuai prinsip maslahat, dan mengutamakan yang lebih penting atau mendesak ketimbang lainnya.[13]

4.      Prinsip proporsionalitas
Bagi Al-Ghazali, ilmu harus ditempatkan pada proporsi yang sebenarnya, yakni yang pasti pada kepastiannya dan yang tidak pasti pada ketidakpastiannya. Misalnya, rincin teologi yang dihasilkan epistimologi fase 1 yang bertaraf “akidah” (bukan ilmu), adalah ijtihadi, sehingga seorang Asy’ari, mu’tazil, hanbali, dan lainnya tak dapat saling mengafirkan, apalagi dalam bidang hukum ijtihadi.[14]



5.      Prinsip tanggung jawab moral dan Profesional
Prinsip ini terceminkan, baik dalam sikap dan perilaku Al-Ghazali sendiri, maupun dalam konsep etika dan hukumnya. Dalam hal pertama, Al-Ghazali melepaskan semua kedudukan dan jabatannya di Bagdad dalam rangka memecahkan problem epistimologi, karena tuntutan tanggung jawab moral dan profesionalnya sebagai Hujjat al-islam. Ia juga keluar dari Zawiyah untuk aktif kembali mengajar di Nizamiyah Nesapur karena tuntutan tanggung jawab yang sama. [15]

Tugas tugas pendidik:[16]
a.      Tugas pertama, menunjukan kasih sayang kepada murid dan memperlakukannya seperti anak sendiri. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “ sesungguhnya (kasih sayang)-Ku kepada kalian laksana kasih sayang seorang ayah kepada anak-anaknya.”
Guru adalah orang tua yang sebenarnya. Sebab ayah adalah penyebab lahirnya seseorang di kehidupan yang fana ini( Dunia), sedangkan guru bisa jadi adalah penyebab seseorang berada dilingkungan yang kekal (Akherat). Oleh karena itu, hak guru lebih diutamakan daripada hak orang tua.
b.      Tugas Kedua, Meneladani perilaku Rasulullah SAW yang tidak pernah meminta upah atas pelajaran yang telah diberikan kepada muridnya. Allah SWT berfirman,”kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih.”(QR. Al-Insan: 9).
Jikalau ia memiliki hak untuk upah atau pemberian atas mereka, maka terimalah pemberian atau upah itu dalam bentuk dikarenakan mereka menjadi penyebab dirinya dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan menanamkan ilmu dan iman dalam hati mereka.


c.       Tugas ketiga, jangan menyimpan nasehat seperti menasehati muridnya untuk tidak melakukan perlawanan demi suatu kedudukan sebelum sang murid memang berhak memperolehnya dan melarangnya untuk mempelajari ilmu tersembunyi sebelum mempelajari ilmu-ilmu yang tampak.
d.      Tugas keempat, menasehati murid untuk tidak berperilaku tercela. Namun hal ini jangan dilakukan secara terang-terangan, melainkan dengan cara menunjukan kemuliaaan.
Seyogyanya seorang pendidik harus memiliki sifat istiqamah terlebih dahulu, baru kemudian meminta muridnya untuk ber-Istiqamah pula. Jika tidak demikian, maka nasehat yang diberikan tidak berguna. Sebab, memberi teladan dengan perbuatan itu lebih kuat pengaruhnya daripada dengan ucapan. [17]


Etika bagi seorang pelajar, dikelompokan menjadi tujuh, yaitu:[18]
a.      Pertama, mengutamakan kesucian jiwa dari akhlak tercela. Hal ini didasarkan atas sabda Rasulullah SAW, “Agama dibangun atas dasar nilai-nilai kebersihan”
Kebersihan yang dimaksud tidak hanya sebatas kebersihan pakainan semata, tetapi juga mencakup kebersihan hati. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT yang artinya “ Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (kotor jiwa)” ( QR. At-Taubah: 28)
Ayat ini menjelaskan bahwa sifat najis tidak hanya melekat pada pakaian saja. Jadi, barangsiapa yang tidak mensucikan hatinya dari kotoran-kotoran jiwa, maka tidak akan mendapat ilmu agama yang bermanfaat dan pantulan cahaya ilmu.
b.      Kedua, mengurangi kesibukan dunianya dan hijrah dari negerinya sehingga hatinya hanya terfokus untuk ilmu semata. Allah SWT tidak menjadikan dalam diri seseorang dua hati dalam satu rongga. Oleh karena itu, ada yang berkata, “kamu tidak akan mendapat ilmu meski hanya sebagian saja, hingga kamu serahkan dirimu seutuhnya untuk ilmu.”
c.       Ketiga, tidak bersikap angkuh dengan ilmu yang dimiliki. Karena itu, janganlah berkonspirasi atau berkomplot untuk menghancurkan kredibilitas seorang guru, tetapi patuhlah kepadanya. Serahkan kendali dirimu kepadanya seperti orang sakit yang menyerahkan perawatan untuk kesembuhannya kepada seorang dokter, tanpa harus mempermasalahkan jenis obat yang diberikan kepadanya.
d.      Keempat, menjaga diri dari mendengarkan dan berpartisipasi dalam perselisihan yang terjadi di masyarakat, karena akan menimbulkan keterkejutan yang membingungkan. Sebab jika hal itu dilakukan, maka yang pertama kali terjadi adalah hati akan berpaling dan terpengaruh oleh segala hal yang ditemuinya terutama jika yang ditemui itu adalah cara-cara rusak yang dapat menyebabkan kemalasan. Oleh karena itu, bagi penuntut ilmu pemula tidak diperbolehkan mengikuti kebiasaan-kebiasaan penuntut ilmu yang telah mencapai tahap akhir, hingga sebagian mereka berkata, “Barangsiapa yang mengikuti perjalanan kami dari awal, maka ia akan menjadi orang benar. Dan barangsiapa yang mengikuti kami hanya di akhir perjalanan, maka ia akan menjadi zindiq (orang kafir yang berpura-pura menjadi Muslim).” Sebab diakhir perjalanannya, anggota tubuh mereka tidak lagi bergerak kecuali untuk mengerjakan ibadah fardhu dan mereka mengganti ibadah-ibadah sunnah dengan gerakan hati dan kesaksian yang langgeng.namun, orang yang lalai menganggapnya sebagai suatu bentuk pengangguran dan kemalasan.”
e.       Kelima, tidak menyisakan satu pun cabang ilmu yang baik untuk dipelajari hingga mengetahui maksudnya. Bila cukup waktu, maka ia akan memperoleh semuanya. Namun jika tidak, maka ia harus memilih bagian ilmu yang terpenting. Dan mengetahui bagian ilmu terpenting hanya mungkin dilakukan setelah mengetahui seluruh cabang ilmu secara umum.
f.       Keenam, memprioritaskan ilmu-ilmu penting, yaitu ilmu akherat. Jika diibaratkan, ilmu itu dibagi menjadi dua,  yang pertama“ilmu mu’amalat” yaitu ilmu ilmu yang dapat mengantarkan manusia kepada ilmu mukasafat, dan  kedua “ilmu  mukasyafat” yaitu ilmu yang dapat menyingkap hati untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, atau disebut juga ilmu ma’rifatullah ( mengenal Allah SWT lebih dekat). Ilmu mukasyafat ini adalah cahaya yang dipancarkan Allah SWT ke dalam hati seorang hamba, yang disucikan dengan ibadah dan mujahadah (sungguh-sungguh dalam beribadah).
g.      Ketujuh, saat menuntut imu, niat seorang murid haruslah menyemangati batinnya agar sampai kepada Allah SWT dan dapat berada disisi orang-orang yang mendekatkan diri kepada-Nya. Dalam menuntut ilmu tidak boleh diniatkan untuk memperoleh kekuaaan, harta benda dan kedudukan.[19]

6.      Kerja sama ilmu politik dan ilmuan-birokrat
Bagi Al-Ghazali, otoritas dan objektivitas ilmiah tak dapat dicampuri oleh otoritas dan kepentingan politik apapun, dan ilmu bukan untuk kekuasaan. Ilmu dan politik saling menunjang, ilmu merupakan asas, sedangkan otoritas politik sebagai penjaga.  Sesuatu tanpa asas pasti akan roboh, dan sesuatau tanpa penjaga pasti akan musnah. Dengan demikian, otoritas politik merupakan alat untuk melindungi, mengembangkan, dan merealisasikan ilmu, yakni hanya terbatas pada dimensi aksiologinya. [20]
Hal ini terlihat lebih luas dalam teori dan etika politiknya yang terlalu panjang untuk diuraikan. Akan tetapi perlu dikemukakan tiga hal, yakni:
a.       Hukum mendirikan negara (pemerintahan) adalah wajib secara pasti, baik berdasarkan ijma maupun penalaran rasional, dengan menunjuk urgensi dan fungsi negara sendiri dalam kaitannya dengan agama dan fakta empirik-sosiologis kehidupan kolektifitas.
b.      Kepala negara (imam) adalah sah apabila secara formal mendapat bai’at dari yang berkompeten dan secara substansial memenuhi 10 kualifikasi, yakni:
1)      Dewasa
2)      Berakal
3)      Merdeka
4)      Laki-laki
5)      Keturunan Quraisy
6)      Sehat pendengaran dan penglihatan
7)      Berwibawa dan memiliki kekuatan politik yang real tertentu
8)      Mampu menjalankan pemerintahan dan pembangunan
9)      Wara’
10)  Taqwa
Syarat-syarat tersebut harus dimiliki langsung oleh pribadi kepala negara dan memiliki ilmu agama yang cukup, meskipun tidak mesti mencapai derajat mujtahid.
c.       Bila terjadi kontradiksi antara teori dan kualifikasi tersebut dengan politik yang real, yaitu sebuah kekuatan mendominasi semua kekuatan politik lain, rezim dominan itu sah secara darurat dan tidak dibenarkan memberontkak jika hal ini menimbulkan bahaya yang lebih besar. [21]

7.      Prinsip ikhlas
Ikhlas disini yaitu dalam mencari dan menemukan kebenaran, yakni dengan melakukan penelitian atau kegiatan ilmiah lain secara murni, semata-mata untuk menemukan kebenaran ilmiah guna mencapai ridha Allah SWTdan kebahagiaan abadi. Bagi Al-Ghazali, prinsip ikhlas haruslah melandasi seluruh kegiatan ilmiah, sejak proses pencarian kebenaran ilmiah sampai pengaplikasiannya sebagai ibadah kepada Allah SWT. Al-Ghazali mengatakan, “Tidak akan sampai kepada kebahagiaan kecuali dengan ilmu dan ibadah. Manusia seluruhnya akan celaka, kecuali yang berilmu, yang berilmu pun semuanya celaka, kecuali yang beramal, dan yang beramal pun akan celaka, kecuali yang ikhlas.” Tidak heran jika ikhlas merupakan wasiat terakhir yang diucapkan berulang kali sesaat menjelang wafatnya. [22]
Semangat ikhlas itu telah dijadikannya sebagai esensi dari etika diskusi dan perdebatan ilmiah, yang menjadi kiteria untuk membedakan mana diskusi yang dilakukan karena Allah SWT dan mana diskusi yang dilakukan karena vested interest tertentu. Menurut Al-Ghazali ada delapan syarat dan ciri diskusi atau kerjasama untuk menemukan kebenaran ilmiah yang sejati, yaitu:
a.       Dilakukan sesudah selesai melaksanakan fardhu’ain, sebab diskusi merupakan fardhu kifayah.
b.      Pelakunya tidak melihat lagi adanya fardhu kifayah lain yang lebih penting dari diskusi, seperti meneliti dan mengembangkan ilmu kedokteran dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar (memerintah kebaikan dan mencegah kemunkaran).
c.       Pelakunya merupakan mujtahid yang tidak terikat oleh mahzab tertentu.
d.      Objeknya adalah masalah-masalah aktual.
e.       Ia lebih menyukai dilakukannya diskusi dalam kesepian ketimbang dalam forum perdebatan terbuka.
f.       Dalam mencapai kebenaran dalam diskusi, hendaklah ia bagaikan pencari barang yang hilang, yang baginya sama saja apakah barang itu muncul ditangannya atau ditangan partner diskusinya.
g.      Tidak mencegah partnernya untuk berilah dari satu argumen ke argumen lain dan dari satu problem ke problem lain, sebab kembali pada kebenaran berarti menolak kesalahan dan wajib di terima.
h.      Partner diskusinya adalah orang yang diharapkan dapat diambil afidahnya dari kalangan ahli ilmu. [23]




BAB III

 PENUTUP


A.    Kesimpilan

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa keutamaan ilmu diantaranya yaitu, dapat menghidupkan hati yang buta, menjadi penerangan jiwa dari kegelapan, penguat jasmani dari kelemahan sehingga dapat mengangkat derajat hamba ketingkat golongan orang-orang yang shaleh. Dengan ilmu, manusia taat kepada allah SWT, menyembah-Nya, meng-Esakan-Nya,bersikap rendah hati, menyambung dan mempererat tali silaturahim. Sedangkan kaidah-kaidah penerpan ilmu dalam praksis ada tujuh, yaitu prinsip objektivitas-kontekstualitas, prinsip ilmu untuk amal untuk kebahagiaan, prinsip prioritas, prinsip proporsionalitas, prinsip tanggung jawab moral dan profesional, prinsip ikhlas dan yang terakhir yaitu kerjasama ilmu politik dan ilmuan birokrat. Namun prinsip ikhlas sudah dijelaskan dan dibahas dalam kajian tentang prinsip-prinsip ilmiah yang menjadi teori makalah kelompok lain.

B.     Saran

Dalam pembuatan makalah ini saya menyadari adanya banyak kesalahan dan kekurangan, sehingga saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar ke depannya bisa lebih baik lagi. Disamping itu, saya berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca.









DAFTAR PUSTAKA



DR. H. Saeful Anwar, M. A.,Filsafat Ilmu Al-Ghazali, Bandung: CV Pustaka Setia, 2007
Fudhailurrahman dan Aida Humaira, Ringkasan Ihya’ ‘Ulumuddin, Jakarta:SAHARA Publisher,2008

Achmad Sunarto, Hakikat Amal, Surabaya:Karya Agung





[1] Fudhailurraahman dan Aida Humaira, Ringkasan Ihya’ ‘Ulumuddin, ( Jakarta:SAHARA publishers, 2008),hal.33.
[2] Ibid, hal.35.
[3] Ibid, hal. 37
[4] Opcit.hlm.37-38
[5] DR. H. Saeful Anwar, M.A., Filsafat Ilmu Al-Ghazali, (Bandung:CV Pustaka Setia,2007), hlm.329-330
[6] Opcit. hlm.330-331
[7] Fudhailurraahman dan Aida Humaira,Ringkasan Ihya’ ‘Ulumuddin,( Jakarta:SAHARA publishers, 2008),hlm.53.

[8] Opcit. hlm. 54
[9] Achmad Sunarto, Hakikat Amal,(Surabaya:karya Agung),hlm. 24
[10] Opcit. hlm. 25
[11] Ibid. Hlm. 25-26
[12] Opcit. hlm. 27-28
[13] DR. H. Saeful Anwar, M.A., Filsafat Ilmu Al-Ghazali, (Bandung:CV Pustaka Setia,2007), hlm.331
[14] Ibid. hlm. 331
[15] Opcit. Hlm. 331-332
[16] Fudhailurraahman dan Aida Humaira,Ringkasan Ihya’ ‘Ulumuddin,( Jakarta:SAHARA publishers, 2008),hlm.51.

[17] Opcit. hlm. 52-53
[18] Fudhailurraahman dan Aida Humaira,Ringkasan Ihya’ ‘Ulumuddin,( Jakarta:SAHARA publishers, 2008),hlm.47.

[19] Opcit. hlm. 50-51
[20] DR. H. Saeful Anwar, M.A., Filsafat Ilmu Al-Ghazali, (Bandung:CV Pustaka Setia,2007), hlm.332

[21] Opcit. hlm. 332-333
[22] Opcit. hlm. 212
[23] Opcit. hlm. 212-213

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Ilmu Kalam ( Pemikiran Al- Asy'ari dan Al- Maturidi)

Makalah Sejarah Peradaban Islam di Afrika Selatan

UAS Media & Tekhnologi Pendidikan semeter 3