Makalah Ilmu Kalam ( Pemikiran Al- Asy'ari dan Al- Maturidi)
MAKALAH ILMU KALAM
TENTANG PEMIKIRAN TEOLOGI
AHLU SUNNAH
( AL-ASY’ARY DAN AL
MATURIDI)
Di
susun Oleh:
1.
Beta
Fitriana Nurzain
2.
Tafrikhatul
Unsa
Institut Agama Islam Imam Ghazali Cilacap
Tahun Ajaran 2016/2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur
Alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas Rahmat, dan
karunia-Nya , kami dapat menyelesaikan tugas makalah ilmu kalam yang berjudul
“TEOLOGI AHLU SUNNAH ( AL- ASY’ARI DAN
AL- MATURIDI)”. Tidak lupa shalawat
serta salam kami sanjungkan kepada Nabi Agung Muhammad SAW. Ucapan terimakasih
juga saya ampaikan kepada Dosen pengampu Ilmu Kalam yang telah memberikan
kesempatan kepada kami untuk mengerjakan tugas ini, sehingga kami lebih
mengerti dan memahami tentang teologi-teologi ahlu sunnah, baik menurut
Al-Asy’ari maupun menurut Al-Maturidi. Langkah-langkah yang kami susun dalam
pembuatan makalah bukanlah teori yang diambil dari sumber yang tidak jelas,
namun kami mengambil dan membandingkan dari sumber yang satu dengan sumber yang
lainnya. kami sadar makalah ini masih jauh dari ksempurnaan, untuk itu kritik
dan saran yang membangun sangat kami harapkan, agar ke depannya kami bisa lebih
baik lagi. Meski begitu, kami harap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
wawasan bagi pembaca.
Amin...
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Didalam makalh ini terdapat teologi-teologi
ahlu sunnah, baik menurut Al-Asy’ary maupun menurut Al-Maturidi. Dengan
mempelajarinya, maka kita dapat mengetahui pendapat-pendapat atau pemikiran
mereka ( Al-Asy’ari dan Al-Maturidi). Kita juga dapat mengetahui dimana letak
kesalahan atas pemikiran-pemikiran yang salah, terutama pemikiran tentang
Tuhan. Untuk itu, teologi pemikiran ahlu sunnah sangat penting untuk dipelajari
sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa.
Didalam mempelajari suatu ilmu, termasuk
tentang tologi pemikiran Ahlu Sunnah ini, nantinya akan ada persoalan yang akan
dibahas dalam makalah ini. Dengan demikian, pembahasan mengenai teologi-teologi tersebut akan membantu kita untuk lebih memahami tentang
pemikiran-pemikiran atau teologi-teologi yang benar, yang sesuai dengan ajaran
Nabi Muhammah SAW.
B. Rumusan masalah
1.
Apa
pendapat Al-Asy’ari dan Maturidi tentang keadilan Tuhan
2.
Apa
pendapat Al-Asy’ari dan Maturidi tentang Qadha dan Qadar
3.
Apa
pendapat Al-asy’ari dan Maturidi tentang sifat kalam
4.
Apa
pendapat al-Asy’ari dan Maturidi tentang Dosa besar
C. Tujuan
1.
Untuk
mengetahui teologi atau pemikiran Al-Asy’ari dan Maturidi tentang keadilan
Tuhan
2.
Untuk
mengetahui teologi atau pemikiran Al-Asy’ari dan Maturidi tentang Qadha dan
Qadar
3.
Untuk
mengetahui teologi atau pemikiran Al-Asy’ari dan Maturidi tentang tentang sifat
kalam Allah SWT
4.
Untuk
mengetahui teologi atau pemikiran Al-Asy’ari dan Maturidi tentang Dosa besar
BAB II
PEMBAHASAN
A. ASY’ARIYYAH
Abu al Hasan ‘Ali Ibn Isma’il al-Asy’ari lahir di Basrah pada tahun 873 M dan wafat di
Bagdad pada tahun 935 M. Pada mulanya ia adalah murid al-Jubbai’i dan salah
seorang terkemuka dalam golongan mu’tazilah sehingga menurut al Husain Ibn
Muhammad al-Askari’ , al-Jubba’i berani mempercayakan perdebatan dengan lawan kepadanya. Al-asy’ari telah puluhan tahun menganut paham
mu’tazilah. Dan akhirnya beliau meninggalkan aliran tersebut. Karena pada suatu malam beliau
bermimpi, dalam mimpinya itu, Nabi Muhammad SAW mengatakan kepadanya bahwa
mazhab Ahli Hadits-lah yang benar, dan mahzab Mu’tazilah yang salah. Sebab lain
dari itu adalah pada suatu ketika Al-Asy’ari berdebat dengan gurunga Al-Jubba’i
dan dalam perdebatan tersebut guru tidak dapat menjawab tantangan murid. [1]
Menurut Ahmad Mahmud subhi perasaan syak yang timbul dalam diri
Al-Asy’ari yang kemudian mendorongnya untuk meninggalkan paham mu’tazilah itu
karena Al-Asy’ari menganut mahzab al-Syafi’i. Al-Syafi’i mempunyai pendapat
teologi yang berlainan dengan ajaran-ajaran mu’tazilah, misalnya Al-Syafi’i
berpendapat bahwa Al-Qur’an tidak diciptakan melainkan bersifat Qadim dan bahwa
Tuhan dapat diliaht di Akherat nanti.
Tetapi bagaimanapun Al-Asy’ari meningalkan paham mu’tazilah ketika
golongan itu berada dalam fase kemunduran dan kelemahan. Setelah Al-Mutawakil membatalkan
putusan al-Ma’mun tentang penerimaan aliran Mu’tazilah sebagai mahzab negara,
kedudukan Mu’tazilah mulai menurun. Umat islam yang tak setuju dengan
ajaran-ajaran mu’tazilah selama ini mulai merasa bebas untuk menyerang mereka,
kemudian timbulah perpecahan di dalam golongan Mu’tazilah sendiri. [2]
Bahkan sebagian pemuka Mu’tazilah meninggalkan barisan Mu’tazilah
seperti, Abu’Isa al-warraq dan abu al-Husain Ahmad Ibn al-Rawandi. Dalam
suasana inilah Al-Asy’ari meninggalkan mu’tazilah tersebut dan menyusun teologi
baru yang sesuai dengan aliran orang yang berpegang kuat pada hadits. Namun yang menjadi sebab utama Al- Asy’ari
meninggalkan aliran Mu-tazilah ialah karena adanya perpecahan yang dialami kaum
muslimin yang bisa menghancurkan mereka jika tidak segera diakhiri. Sebagai
seorang muslim yang sangat gairah terhadap keutuhan kaum muslimin, ia sangat
mengkhawatirkan Qur’an dan hadits menjadi korban paham-paham kaum mu’tazilah,
yang menurut pendapatnya tidak dapat dibenarkan, karena didasarkan atas
pemujaan akal pikiran, sebagaimana dikhawatirkan menjadi korban sikap ahli hadits
anthropomorphis yang hanya memegangi nas-nas dengan meninggalkan jiwanya dan
hampir-hampir menyeret islam kepada kelemahan, kebekuan yang tidak dapat
dibenarkan agama. Al-Asy’ari karenanya mengambil jalan tengah antara golongan
rasionalis dan golongan tekstualis dan ternyata jalan tersebut dapat diterima
oleh mayoritas kaum muslimin. [3]
Ajaran-ajaran Al-Asy’ari dapat diketahui dari buku-buku yang
ditulisnya, terutama dari kitab al- Luma’ Fi al-Rad ‘ala Ahl al-Ziagh wa al-
Bida’ dan al-Ibanah ‘an Usul
al-Dianah disamping buku-buku yang ditulis oleh para pengikutnya. Mustahil
kata al-Asyari Tuhan mengetahui dengan dzat-Nya, karena dengan demikian
dzat-Nya adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan bukan
pengetahuan (‘ilm) tetapi yang mengetahui (‘alim). Tuhan mengetahui dengan
pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah dzat-Nya. Demikian dengan sifat-sifat
seperti sifat hidup, berkuasa, mendengar dan melihat. [4]
1.
Pemikiran Tentang keadilan Tuhan.
Aliran Al-Asy’ariyah mrngemukakan dua alasan, yaitu:
a.
Jika
baik dan buruk berdiri sendiri dan terdapat pada suatu perbuatan, tentulah
tidak berubah-ubah sifat-nya, sedangkan kita melihat pandangan orang selalu
berbeda-beda, menurut perbedaan keadaan. Sekarang dipandanya baik, besok
dipandang buruk. Misalnya membunuh orang adalah buruk, tetapi bisa menjadi baik
apabila untuk menjalankan hukuman Qisas.
b.
Norma-norma
akhlak (etika) adalah relatif, yang dapat berbeda-beda menurut perbedaan
limgkungan dan agama. Norma tersebut tidak tetap, tetapi selalu berubah dan
berkembang, karena norma-norma tersebut hanya buatan manusia.[5]
Dengan perkataannya tersebut, Al-Asy’ari hendak mengadakan
pemisahan antara alam lahir dan alam Ghaib. Jika dalam alam lahir manusia
tunduk kepada Syariat dan hukum, maka tidak demikian halnya bagi perbuatan
Tuhan yang tidak berlaku pada-Nya hukum baik dan buruk serta Syariat apapun
juga. Akan tetapi dengan pendapatnya tersebut dengan tidak sengaja ia telah
mempersamakan Tuhan dengan raja diktator yang memiliki hak menghidupkan atau
mematikan rakyatnya, meskipun demikian tindakannya diatas undang-undang.
Bukankah dengan demikian telah mempersaakan alam Ghaib dengan alam lahir?
Al-Kusyairi hendak membela Al-Asy’ari dengan mengatakan bahwa ia
tidak pernah mengatakan demikian, akan tetapi kitab-kitabnya sendiri yang
mengatakan pendapatnya tersebut. Dalam kitabnya ia juga mengatakan bahwa Tuhan
bisa memberikan kewajiban diluar kesanggupan manusia, Tuhan tidak perlu
mengutus utusan-utusan-Nya. [6]
Al-Asy’ari juga mengingkari orang yang berlebih-lebihan menghargai
akal pikiran, yaitu golongan Mu’tazilah. Karena golongan ini tidak mengakui
sifat-sifat Tuhan, maka dikatakan telah sesat, sebab mereka telah menjauhkan
Tuhan dari sifat-sifat-Nya dan meletakan-Nya dalam bentuk yang tidak dapat
diterima akal. Juga karena mereka mengingkari kemungkinan terlihatnya Tuhan
dengan mata kepala. Apabila pendapat ini dibenarkan, maka akan berakibat tidak
mengakui hadits-hadits Nabi Muhammad SAW, yang sebagai salah satu tiang agama.
Menurut pendapat Al-Asy’ari bahwa Tuhan dapat dilihat di Akherat
kelak. Diantara alasan-alasan yang dikemukakannya ialah bahwa sifat-sifat yang
tak dapat diberikan kepada Tuhan hanyalah sifat-sifat yang akan membawa kepada
arti diciptakannya Tuhan. Sifat dapatnya Tuhan dilihat tidak membawa kepada hal
ini, karena apa yang dapat dilihat tidak mesti mengandung arti bahwa ia mesti
bersifat diciptakan. Dengan demikian jika dikataan Tuhan dapat dilihat , itu
tidak mesti berarti bahwa Tuhan harus bersifat diciptakan.
a.
Al-Asy’ari
dan teori baik dan terbaik
Jika
Tuhan berbuat segala sesuatu didalam
miliknya sendiri dengan bebas, maka tidak seorangpun mewajibkan Ia mengerjakan
yang baik dan yang terbaik. Perbuatan-perbuatan Tuhan tidak diadakan karena
mencapai sesuatu tujuan. Sebagai bukti ialah bahwa tidak semua alam ini baik,
tetapi banyak keburukan-keburukannya. Menurut pendapat Al-Asy’ariyah, aliran
Mu’tazilah telah membuat kesalahan ketika mengukur perbuatan-perbuatan Tuhan
dengan perbuatan manusia dan mengatakan bahwa orang yang bijaksana ialah yang
mengerjakan yang baik-baik dan yang terbaik. Bagi Tuhan tentunya lebih lagi
dari itu. Ukuran ini tidak tepat, karena tujuan-tujuan atau hikmah-hikmah
perbuatan Tuhan tidak perlu diukur dengan pertimbangan akal pikiran manusia.[7]
b.
Al-Asy’ari
dan teori keburukan dunia
Persoalan
ini bertalian dengan iradah Tuhan yang mutlak. Tuhan menghendaki apa yang ada,
dan menghendaki apa yang tidak ada. Dengan kata lain apa yang ada artinya
dikehendaki dan apa yang tidak ada artinya tidak dikehendaki. Karena keburukan
ada, maka berarti Tuhan menghendakinya. Tuhan menghendaki kekafiran bagi
manusia yang sesat dan menghendaki iman bagi manusia yang mendapat petunjuk.
Tuhan menghendaki baik dan buruk karena segala yang terjadi karena iradah Allah
SWT, karena kafir, sesat dan sebagainya adalah hal-hal yang baru dan untuk
wujudnya menghendaki iradah Tuhan.
Bahkan
Al-Asy’ari lebih jauh lagi pendapatnya. Ia mengatakan bahwa Tuhan sengaja
membuat manusia sebagian untuk neraka, dan sebagian untuk surgha. Untuk tidak
mengingkari arti pahal dan siksa, ia mengatakan bahwa Tuhan mengadakan jalan
kebaikan dan jalan keburukan. Tuhan mengetahui ada orang-orang yang akan di
siksa, karena mereka akan lebih condong kepada segi keburukan, disamping orang
lain yang akan mendapat kenikmatan karena mereka memilih jalan kebaikan. Tuhan
telah mengajak mereka ke arah petunjuk-Nya, Al- Qur’an sendiri menjadi petunjuk
bagi orang-orang kafir yang menolaknya. Al-Asy’ari sendiri mengakui bahwa
ajakan iblis kepada kekafiran menyesatkan orang-orang kafir yang mau menerima,
bukan orang-orang mukmin yang menolaknya.
[8]
2.
Pemikiran
tentang Qadha dan Qadar
Al-Asy’ari
membagi perbuatan manusia menjadi dua bagian, yaitu perbuatan yang timbul
dengan sendirinya dan perbuatan yang timbul karena kehendak.
Dalam perbuatan
yang timbul karena kehendak, manusia merasa sanggup mengerjakannya, suatu tanda
bahwa ia mempunyai kekuasaan ( kemampuan/kesanggupan ) yang dapat
dipergunakannya. Kekuasaan ini didahului dengan kehendak (iradah). Dan dengan
kesanggupan inilah ia mendapatka perbuatan. Mendapatkan pekerjaan inilah yang
dinamakan kasb.
Al-asy’ari dan
pengikut-pengikutnya mengatakan bahwa Kasb adalah “Berbarengnya kekuasaan
manusia dengan perbuatan Tuhan.”.Artinya apabila seseorang hendak mengadakan
suatu perbuatan, maka pada saat itu juga Tuhan mengadakan (menciptakan)
kesanggupan manusia untuk mewujudkan perbuatan tersebut. Dengan perbuatan
inilah ia mendapatkan perbuatannya, tetapi tidak menciptakannya.
Jadi,
kekuasaan manusia tidak lain hanyalah alat yang dipergunakan kekuasaan Tuhan
untuk mewujudkan perbuatan yang dikehendaki manusia. Dengan kata lain,
kekuasaan manusia bisa berpengaruh atas terwujudnya perbuatan dengan syarat
penggabungan kekuasaan Tuhan pada kekuasaannya sebagai penolong. Meskipin
manusia bisa mengerjakan atau meninggalkan suatu perbuatan, namun ketika kwtika
terjadinya perbuatan, Tuhanlah yang menciptakan perbuatan tersebut. Pada
akhirnya kekuasaan manusia tidak mempunyai pengaruh sama sekali. [9]
Ringkasnya
Al-Asyari mengatakan bahwa perbuatan perbuatan manusia diciptakan Tuhan, bukan
oleh manusia, yang terjadi ketika terdapat kekuasaan manusia dan kehendaknya,
tetapi bukan sebagai akibat kekuasaan dan kehendak manusia tersebut. Jadi
berbarengnya kekuasaan manusia dengan penciptaaan atau wujud perbuatan tidak
berguna, selama tidak menjadi sebab wujudnya.
Dalam
memperkuat pendapatnya, Al-Asy’ari tidak menggunakan ayat-ayat penguat adanya
kasb yang diciptakannya itu, tetapi mempergunakan ayat-ayat yang dipakai aliran
jabariyah sebelumnya, seperti ayat-ayat:
“Adakah
pencipta selain Allah SWT?” ( Q.S. Fatir, 35:3)
“Apakah
Zat yang menciptakan sama dengan mereka
yang tidak menciptakan?” ( Q.S.
An-Nahl, 16:17)
“Bukankah
mereka itu dijadikan dari tiada? Ataukah mereka itu menjadikan?” ( Q.S.
At-Tur, 52:35)
Akan tetapi
ayat tersebut sebenarnya tidak meniadakan sama sekali kesanggupan manusia
mengadakan perbuatannya, tetapi yang ditiadakannya ialah mengadakan dari tiada
yang hanya dimiliki oleh Allah SWT
semata. [10]
Perbuatan-perbuatan manusia, bagi Al-Asy’ari bukanlah diwujudkan
oleh manusia sendiri, seperti pendapat Mu’tazilah, tetapi diciptakan oleh
Tuhan. Perbuatan kufr adalah buruk, tetapi orang kafir ingin supaya perbuatan kufr
itu sebenarnya bersifat baik. Apa yang dikehendaki orang kafir ini tidak dapat
diwujudkan . perbuatan iman bersifat baik, tetapi berat dan sulit.orang mukmin
ingin supaya perbuatan iman itu janganlah berat dan sulit, tetapi apa yang
dikehendakinya itu tak dapat diwujudkan. Dengan demikian yang mewujudkan
perbuatan kufr itu bukanlah orang kafir yang tak sanggup membuat kufr
bersifat baik, tetapi Tuhanlah yang mewujudkannya dan Tuhan memang berkehendak
supaya kufr bersifat buruk. Demikian pula, yang mencitakan pekerjaan
iman bukanlah orang mukmin yang tak sanggup membuat iman bersifat tidak berat
dan sulit, tetapi Tuhanlah yang menciptakannya dan Tuhan memang menghendaki
supaya iman bersifat berat dan sulit.
3.
Pemikiran
tentang sifat kalam
Imam Al-Asy’ari
membagi perkataan Tuhan menjadi dua bagian:
b.
Perkataan
yang ada pada Zat-Nya (kalam Nafsi). Sifat ini adalah sifat Zat dan Qadim.
c.
Perkataan
yang terdiri dari kata-kata dan huruf. Perkataan ini baru dan makhluk (
diadakan).
Dalam pendapat diatas tersebut, pendirian Al-Asy’ari sama dengan
pendirian Mu’tazilah. Jika dikatakn “ kalam itu Qadim”, maka yang dimaksud
ialah perkataan macam pertama. Jika dikatakan baru, maka yang dimaksud ialah
perkataan yang kedua.
Dalam Al-Qur’an ada ayat yang menunjukan bahwa perkataan Allah SWT
baru, seperti surat Al-Anbiya’, 21:2, yaitu “Tiada datang kepada mereka
peringatan yang baru ( Qur’an) dari Tuhan, melainkan mereka dengarkan, serta
mereka permainkan”
Dan dalam Qur’an Surat An-Nisa’, 4:87, yaitu “Siapakah orang
yang lebih benar perkataannya daripada perkataan Allah SWT”
Dalam ayat tersebut Qur’an dinyatakan dengan perkataan Dzikir
(peringatan) dan Hadits ( baru) dan dinyatakan kebaharuannya ialah yang berupa
kata-kata, huruf dan suara yang menjadi tanda Qur’an, firman Tuhan yang ada
pada Dzat-Nya ( kalam Nafsi) dan yang qadim, tanpa perselisihan lagi.
Ke-Qadiman kalam Nafsi tersebut ialah karena ia adalah salah satu
sifat Tuhan, sedangkan sifat-sifat Tuhan Qadim semua, maka sifat kalam pun
harus Qadim pula. [11]
5.
Pemikiran
Tentang Dosa Besar
Menurut Al-asy’ari orang yang berdosa besar tetap mukmin, karena
imannya masih ada, tetapi karena dosa besar yang dilakukannya ia menjadi
fasiq.sekiranya orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir,
maka dalam dirinya akan tidak didapati kufr atau iman, dengan demikian bukanlah
ia atheis dan bukan pula monotheis, tidak teman dan tidak pula musuh. Hal
seperti ini tidak mungkin. Oleh karena itu, tidak pula mungkin bahwa orang
berdosa besar bukan mukmin dan pula
bukan kafir.
Abu Hamid Al-Ghazali adalah pengikut Al-Asy’ari yang terpenting dan
terbesar pengaruhnya pada umat islam yang beraliran Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
Al-Ghazali seperti a-Asy’ari yang tetap mengakui bahwa Tuhan mempunyai
sifat-sifat Qadim yang tidak identik dengan Dzat-Nya dan mempunyai wujud di luar dzat-Nya. Selanjutnya Al-Ghazaki memounyai paham yang
sama dengan Al-Asy’ari tentang Beautific vision yaitu bahwa Tuhan dapat dilihat
karena tiap-tiap yang mempunyai wujud dapat dilihat. Atas pengaruh Al-Ghazali,
ajaran Al-Asy’ari yang serupa inilah yang meluas di kalangan islam Ahli Sunnah
Wal Jama’ah . aliran Al-Asy’ariah muncul sewaktu aliran mu’tazilah sedang dalam
keadaan jatuh, tidak cepat meluas didunia islam bahkan pemuka-pemukanya pernah
mengalami tindasan dari pihak penguasa-penguasa islam.
B. MATURIDIAH
Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad ibn Mahmud al-Maturidi lahir di
samarkad pada pertengahan kedua dari abad ke-9 M dan meninggal pada tahun 944M.
Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham-paham teologinya banyak persamaannya
dengan paham-paham yang dimajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang
ditimbulkan abu Mansur termasuk dalam golongan teologi Ahli Sunnah dan dikenal
dengan nama al-Maturidi. Keterangan-keteranagn mengenai pendapa-pendapat al- seperti Isyarat al-Maram oleh
Al-Bayadi dan Usul al-Din oleh al-Badzawi.[12]
Sebagai pengikut Abu Hanifah yang banyak memakai rasio dalam
pandangan keagamaannya, al-Maturidi
banya pula memakai akal dalam sistem teologinya. Oleh karena itu, antara
teologinya dengan teologi Al-Asy’ari terdapat perbedaan. Al-Maturidi
mendasarkan pikiran-pikirannya dalam soal-aosal kepercayaan kepada
pikiran-pikiran imam Abu Hanifah yang tercantum dalam kitabnya Al-Fiqh al-Akbar
dan Al-Fiqh al-Absat dan memberikan ulasan-ulasannya terhadap kedua kitab
tersebut. Al-Maturidi meninggalkan karangan-karangan yang banyak dan sebagian
besarnya dalam lapangan ilmu tauhid.
1.
Pemikiran
tentang keadilan Tuhan
Dalam soal sifat-sifat Tuhan terhadap persamaan antara Al-Asy’ari
dan Al-Maturidi. Baginya Tuhan juga mempunyai sifat-sifat. Maka menurut
pendapatnya, Tuhan mengetahui bukan dengan dzat-Nya dan berkuasa bukan dengan dzat-Nya. Tuhan
tidak menghendaki keburukan, karena kekuasaan-Nya bukanlah kekuasaan
semena-mena, sebagaimana yang digambarkan Al-Asy’ari, tetapi suatu kekuasaan
mutlak atas alam ini, namun tidak boleh dikatakan bahwa ia boleh mengerjakan
sesuatu yang menurut pertimbangan akal pikiran buruk, seperti menyiksa orang
baik. Perbuatan tersebut tidak mungkin terjadi, sebab berarti menghapuskan
segala norma-norma akhlak dan akal pikiran dan berlawanan pula dengan ketentuan Syara’ sendiri yang menetapkan
kebijaksanaan Tuhan dan keadilan-Nya.
Tuhan dalam perbuatan-perbuatan-Nya mesti memegangi prinsip
keadilan dan anugerah. Istilah mesti tidak banyak berbeda dengan istilah wajib
yang digunakan Mu’tazilah. Adil ialah mengambil yang baik ( salah), sedangkan
anugerahialah mengambil atau memberikan yang terbaik.
a.
Maturidi
dan teori baik dan terbaik
Seperti
Mu’tazilah, ia mengakui bahwa baik dan
buruk terdapat pada suatu perbuatan. Perintah dan larangan syara’ hanya
mengikuti sifat tersebut. Memang akal pikiran tidak selamanya dapat mengetahui
baik dan burruk. Karena itu datanglah syara’ untuk menolong akal manusia dan
menerangi jalan hidupnya. [13]
Menurut
Maturidi yang dimaksud dengan perkataan yang terbaik itu kebijaksanaan, maka
tidak ada perbedaan pendirian. Akan tetapi apabila yang dimaksud perkataan
tersebut ialah “ lebih berguna” maka tidak sama pendapatnya. Namun soal “lebih
berguna” juga dipeganginya, karena ia mengatakan bahwa keadilan adalah
perbuatan yang memberi kesempurnaan bagi orang lain, artinya yang ada gunanya.
Dengan demikian, maka tidak ada perbedaan sama sekali antara maturidi dan
mu’tazilah. [14]
b.
Maturidi
dan teori tentang keburukan dunia
Dalam
soal keburukan dunia Maturidi telah dapat memperbaiki pendapat Mu’tazilah. Ia
mengatakan bahwa baiknya alam ini
memerlukan adanay kebaikan dan keburukan bersama-sama. Akan tetapi tidak
berarti bahwa Tuhan tidak menghendaki keburukan, sebagaimana yang dikatakan
Mu’tazilah.
Kita
harus mengartikan bahwa Tuhan menghendaki keburukan untuk mewujudkan
kebaikan. Maturidi tidak dapat
menyetujui pendapat Al-Asy’ari bahwa Tuhan boleh menyiksa orang mukmin, sesuai
dengan iradah-Nya yang mutlak. Sebab hal itu akan berarti menyalahi janji yang telah di berikan-Nya kepada
hamba-hamba-Nya yang shaleh. Satu hal yang tidak bisa masuk akal, Tuhan
menyalahgunakan kekuasaan-Nya tersebut. Akan tetapi kekuasaan-Nya yang mutlak
tersebut dapat digunakan untuk mengampuni orang-orang yang dikehendakinya,
sebab pengampunan disini tidak akan menyinggung ketentuan-ketentuan ancaman-Nya
dan sesuai pula dengan belas kasih sayang-Nya.
2.
Pemikiran
tentang Qadha dan Qadar
Maturidi
sependapat dengan Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa kekuasaan manusia bisa
digunakan untuk dua hal yang berlawanan, seperti ketaatan dan manusia bebas
mengarahkan atau menggunakan kekuasaannya tersebut. Selama manusia itu
dijadikan Tuhan, maka perbuatan-perbuatannya juga dijadikan tuhan. Karena itu
semua perbuatan manusia, berupa gerak, diam, taat dan maksiat sebenarnya mereka
sendiri yang mengerjakannya, tetapi dijadikan Tuhan. [15]
Maturidi
menggunakan kata-kata penciptaan (khalaq) untuk macam pertama saja, sedang
aliran Mu’tazilah menggunakan kata-kata tersebut untuk kedua macam penciptaan,
akan tetapi baik Maturidi dan Mu’tazilah tidak mengatakan bahwa manusia dapat
menciptakan sesuatu dari tiada. Jadi hanya berbeda istilah, namun pengertiannya
atau isinya sama saja. Dalam soal perbuatan-perbuatan manusia, al-Maturidi
sependapat dengan golongan mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang
mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian ia mempunyai paham Qadariah
dan atau bukan paham jabariyah atau kasb
Asy’ari.
Sama
dengan Al-Asy’ari, al-Maturidi menolak ajaran mu’tazilah tentang al-salah wa’
al-aslah, tetapi disamping itu, al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan mempunyai
kewajiban-kewajiban tertentu. Al-Maturidi juga tidak sepaham dengan mu’tazilah
tentang masalah Al-Qur’an. Sebagaimana Al-Asy’ari, ia mengatakan bahwa kalam
tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim.[16]
3.
Pemikiran
tentang sifat kalam
pendapat
maturidi terhadap soal Qur’an sama dengan pendapat Al-Asy’ari yaitu dengan
memandang perkataan Tuhan dari dua segi,
yaitu:
a.
Kalam
Nafsi yang ada pada Zat Tuhan dan Qadim, bukn sejenis perkataan manusia,
berhuruf dan bersuara. Kalam nafsi tersebut menjadi sifat Tuhan sejak zama
azali. Kita tidak mengetahui hakikatnya, tidak bisa di dengar atau dibaca,
kecuali dengan perantara. Nabi musa as. Tidak mendengar perkataan Tuhan yang
sebenarnya, tetapi hnya mendengar suara yang menyatakan si kalam tersebut.[17]
b.
Kalam
(perkataan) yang terdiri dari huruf dan suara. Kalam ini sudah terang, baru dan
diadakan.
Menurut
Maturidi, kesalahan Mu’tazilah ialah karena mereka dalam soal kalam (perkataan)
disini hendak mempersamakan kalam Tuhan dengan kalam manusia, suatu
pengecualian, dari prinsip yang selalu mereka pegangi selama ini, yaitu tidak
mempersamakan alam Ghaib dengan alam lahir.[18]
4.
Pemikiran
tentang dosa besar
Mengenai dosa besar al-Maturidi sependapat dengan Al-Asy’ari bahwa
orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan
ditentukan Tuhan kelak di Akherat. Tetapi
dalam soal al-wa’d wa al-wa’id al-Maturidi sepaham dengan Mu’tazilah.
Janji-janji dan ancaman-ancaman Tuhan, tak boleh tidak mesti terjadi kelak. Dan
juga dalam soal anthropomorphisme al-Maturidi sealiran dengan mu’tazilah. ia
tidak sependapat dengan al-Asy’ari bahwa ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk
jasmani tak dapat diberi interpretasi atau ta’wil. Menurut pendapatnya tangan,
wajah dan sebagainya mesti diberi arit majazi atau kiasan
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pendapat Al-Asy’ari dan Maturidi ada yang
sama dan juga ada yang berlawanan, kesimpulan pendapat dari masing-masing tokoh
yaitu:
1.
Pendapat
Al-Asy’ari
a.
Bahwa
keadilan Tuhan didasarkan atas pikiran mereka tentang iradah ( kehendak Tuhan).
b.
Bahwa
kehendak Tuhan adalah mutlak atau bebas. Kelanjutannya ialah menurut mereka,
Tuhan bisa bertindak semena-mena, perbuatan-Nya diadakan bukan karena tujuan
atau karena kepentingan manusia, bisa menyiksa oran-orang baik, Tuhan
menghenaki keburukan untuk hamba-hambanya.
c.
Bahwa
kalam Tuhan dibagi menjadi dua bagian, yang pertama yaitu perkataan yang ada
pada Zat-Nya ( sifat Zat dan Qadim), yang kedua yaitu perkataan yang terdiri
dari kata-kata dan hutuf. Perkataan ini baru dan makhluk (diadakan).
d.
Bahwa
orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan
ditentukan Tuhan kelak di Akherat.
2.
Pendapat
Maturidi
a.
Bahwa
Tuhan dalam perbuatan-perbuatan-Nya mesti memegangi prinsip keadilan dan
anugerah. Istilah mesti ini tidak banyak berbeda dengan istilah wajibyang
digunakan aliran Mu’tazilah. Dil ialah mengambil yang baik (salah), sedangkan
anugerah ialah mengambil atau memberikan yang terbaik
(aslah)
b.
Bahwa
kehendak Tuhan tidak semena-mena dipergunakan, tetapi selalu dibarengi dengan
kebijaksanaan dan perhatian.
c.
Bahwa
kalam Tuhan dibagi menjadi dua bagian, yang pertama yaitu kalam nafsi yang ada
pada Zat Tuhan dan Qadim, bukan sejenis perkataan manusi, berhuruf dan
bersuara. Yang kedua yaitu kalam (perkataan) yang terdiri dari huruf dan suara.
Kalam ini sudah terang, baru dan diadakan.
d.
Bahwa
mengenai dosa besar al-Maturidi sependapat dengan Al-Asy’ari, yang berpendapat
bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan
ditentukan Tuhan kelak di Akherat.
B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini kami menyadari adanya banyak kesalahan
dan kekurangan, sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar
ke depannya bisa lebih baik lagi. Disamping itu, kami berharap makalah ini
dapat bermanfaat bagi semua pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Harun
Nasution, Teologi Islam, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press), 2010
Ahmad Hanafi,
M.A., Teologi Islam Ilmu Kalam, Jakarta: PT. Bulan Bintang,2010
[1] Prof. Dr. Harun nasution, Teologi islam, ( Jakarta: Universitas
Indonesia, UI Press, 2010), hlm.66
[2] Ibid, hlm.68
[3] Hanafi, M.A., Teologi Islam Ilmu Kalam, ( jakarta:PT. Bulan
Bintang,2010), hlm. 66
[4] Opcit, hlm. 69-70
[5] Ibid, hlm. 163-164
[6] Opcit, hlm. 164-165
[7] Opcit, hlm. 165-166
[8] Opcit, hlm. 166-167
[9] Opcit, hlm. 176-177
[10] Opcit, hlm. 178-179
[11] Hanafi, M.A., Teologi Islam Ilmu Kalam, ( jakarta:PT. Bulan
Bintang,2010), hlm. 131-132
[12] Prof. Dr. Harun Nasution, Teologi Islam ( Jakarta:Universitas
Indonesia, Ui Press, 2010, hlm. 77
[13] Opcit, hlm. 168-169
[14] Opcit, hlm. 169
[15] Opcit, hlm. 179-180
[16] Opcit, hlm. 180
[17] Opcit, hlm. 133
[18] Opcit, hlm. 133
Komentar
Posting Komentar